Keadaan Umum Wilayah Kerja BPDASHL Barito

KEADAAN UMUM

WILAYAH KERJA BPDAS BARITO

A. KONDISI BIOFISIK DAS

1. Letak, Luas dan Bentuk DAS
Wilayah Kerja Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito berdasarkan Instruksi Menteri Kehutanan Nomor : INS.3/Menhut-II/2009 tanggal 20 April 2009 tentang Wilayah Kerja Unit Pelaksana Teknis Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, bahwa wilayah kerja BPDAS Barito meliputi seluruh Provinsi Kalimantan Selatan dan Sebagian Provinsi Kalimantan Tengah dengan luas 81.094,7 km2 atau 8.109.468,8 ha.
Secara geografis wilayah kerja BPDAS Barito terletak antara 113°13″12.9385′ Bujur Timut (BT) sampai dengan 116°33″53.0742′ BT dan 0°46″59.0538′ Lintang selatan (LS) – 4°10″42.2762′ LS. Ditinjau berdasarkan batas topografinya maka wilayah kerja BPDAS Barito disebelah Utara dibatasi oleh pegunungan Muller dan , sebelah Timur dibatasi oleh bukit Puruk habatuan dan bukit Karang, Sebelah Barat dibatasi Peg. Luang dan sebelah Selatan dibatasi oleh laut jawa.
Secara hidrologis wilayah kerja BPDAS Barito meliputi 183 buah sungai yang langsung mengalir ke laut atau yang disebut sebagai DAS. Diantara sungai tersebut, terdapat 12 sungai besar yang kemudian disebut sebagai Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) DAS yang mencakup beberapa sungai/DAS disekitarnya. Penamaan SWP DAS ini bertujuan untuk memudahkan dalam pengelolaan maupun penanganannya. SWP DAS dimaksud yaitu SWP DAS Barito, Tabunio, Kintap, Satui, Kusan, Batulicin, Cantung, Sampanahan, Manunggul, Cengal, Pulau Laut, dan Pulau Sebuku.
Untuk menilai kerawanan suatu DAS terhadap banjir maka dapat dilihat berdasarkan karakteristiknya. Parameter karakteristik DAS yang berkaitan erat dengan pengaruhnya terhadap kecepatan terpusatnya aliran dan ketajaman puncak (peak) banjir yaitu Bentuk DAS. Menurut Soewarno ( 1991 ), Bentuk DAS mempunyai arti penting dalam hubungannya dengan aliran sungai, yaitu berpengaruh terhadap kecepatan terpusatnya aliran. Umumnya bentuk DAS dapat dibedakan menjadi ; memanjang, membulat/radial, paralel, dan komplek.
Bentuk memanjang, biasanya induk sungainya akan memanjang dengan anak-anak sungai langsung masuk ke induk sungai. Kadang-kadang berbentuk seperti bulu burung. Bentuk ini biasanya akan menyebabkan debit banjir relatif kecil karena perjalanan banjir dari anak sungai berbeda-beda waktunya.
Bentuk DAS membulat atau radial, umumnya dibentuk oleh dua buah alur sungai atau lebih nya menyatu dibagian hilirnya. Atau terjadi karena arah alur sungai seolah-olah memusat pada satu titik sehingga menggambarkan adanya bentuk radial, kadang-kadang gambaran tersebut berbentuk kipas atau lingkaran. Sebagai akibat dari bentuk tersebut maka waktu yang diperlukan aliran yang datang dari segala penjuru arah alur sungai memerlukan waktu yang hampir bersamaan. Dengan kata lain apabila terjadi hujan yang sifatnya merata di seluruh DAS akan menyebabkan banjir besar.Jika terjadi hujan yang cukup besar maka umumnya kejadian banjir terjadi dengan cepat dan daerah hilir mengalami banjir yang lama.
Bentuk paralel, DAS ini dibentuk oleh dua jalur sub DAS yang bersatu di bagian hilirnya, apabila terjadi banjir di daerah hilir biasanya setelah di sebelah hilir titik pertemuan kedua alur sungai Sub DAS tersebut.
Bentuk Komplek, merupakan gabungan dasar dua atau lebih bentuk DAS.

2. Iklim
Tipe iklim di wilayah kerja BPDAS Barito yang meliputi seluruh Provinsi Kalimantan Selatan dan sebagian kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah (4 kabupaten) termasuk tipe B sampai E yang berarti basah sampai dengan agak kering. Tipe iklim D (sedang) meliputi penyebaran sebagian besar luas wilayah Kalimantan Selatan, yaitu seluruh Kabupaten Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Barito Kuala, dan sebagian wilayah kabupaten Tapin, Banjar, Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru. Wilayah yang termasuk tipe iklim C (agak basah) meliputi sebagian wilayah Kabupaten Banjar dan Tapin. Tipe Iklim E (agak kering) meliputi sebagian wilayah Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru. Sedangkan Tipe iklim B (basah) hanya meliputi sebagian kecil wilayah kabupaten Tapin.
Daerah Kalimantan Selatan terdiri dari 2 (dua) musim, yaitu : musim hujan dan musim kemarau (panas). Musim hujan biasanya terjadi pada Bulan Oktober sampai dengan Mei, pada waktu itu angin bertiup dari arah timur Laut, sedangkan musim kemarau (panas) terjadi pada Bulan Juni sampai dengan Agustus dan diantara kedua musim tersebut terdapat musim pancaroba. Hal serupa juga terjadi pada 4 (empat) kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah.
Temperatur udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat tersebut terhadap permukaan laut dan jaraknya dari pantai. Data temperatur udara yang dilaporkan Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Meteorologi Syamsuddin Noor, temperatur udara maksimun di daerah Kalimantan Salatan berkisar antara 33,1°C – 35°C , temperatur udara minimun berkisar antara 22,6°C – 23,8°C. Temperatur rata-rata berkisar antara 15,6°C sampai 26,9°C.
Kelembaban udara maksimun di daerah ini berkisar antara 96%-98% dan kelembaban minimun berkisar antara 35%-58%, sedangkan rata-ratanya tiap bulan 60%-87%. Penyinaran matahari di Kalimantan Selatan dengan intensitas tertinggi pada bulan April yaitu 75% dan intensitas terendah terjadi pada bulan Desember yaitu 33%, dengan rata-rata intensitas penyinaran 52,5%.
Curah hujan di suatu tempat antara lain dipengaruhi oleh keadaan iklim, geografi dan perputaran/pertemuan arus udara. Curah hujan tertinggi di daerah ini terjadi di Bulan Maret yaitu 426,0 mm sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan September yaitu 75,0 mm. Wilayah Kalimantan Selatan mendapat curah hujan tahunan antara 922 mm/tahun sampai dengan 2.455 mm/tahun. Bulan basah terjadi mulai dari bulan November sampai dengan bulan April, sedangkan bulan-bulan kering rata-rata mulai dari bulan Mei sampai bulan Oktober (menurut Schmidt-Ferguson).

3. Tanah dan Geologi
Tanah merupakan akumulasi tubuh alam bebas yang menduduki sebagian besar permukaan bumi yang menumbuhkan tanaman dan memiliki sifat-sifat sebagai akibat pengaruh iklim dan jazad-jazad hidup yang bertindak terhadap bahan induk keadaan relatif tertentu selama jangka waktu tertentu pula (Jenny, 1946 dalam Darmawijaya, 1980). Tanah mempunyai 2 (dua) fungsi yang cukup penting yaitu sebagai sumber unsur hara bagi tanaman dan sebagai matriks tempat pertumbuhan perakaran tanaman. Produksi optimum suatu tanaman dapat dicapai apabila ada usaha-usaha perbaikan terhadap sifat fisik dan kimia tanah melalui penerapan kaidah konservasi tanah.
Data tanah yang digunakan di Kalimantan Selatan bersumber dari Peta Jenis Tanah skala 1 : 500.000 oleh Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan tahun 1984. Sedangkan Jenis tanah di pada 4 (empat) kabupaten di provinsi Kalimantan Tengah bersumber dari Badan Pertanahan Nasional Prov. Kalimantan Tengah skala 1 : 500.000. Secara rinci penjelasan mengenai jenis tanah dimaksud dijelaskan sebagai berikut :
a. Aluvial merupakan tanah muda yang berasal dari endapan baru yang berlapis-lapis yang berkembang di dataran aluvial, delta, bekas danau dan daerah pantai. Tanah ini biasanya dicirikan dengan bahan organik yang jumlahnya berubah tidak teratur dengan kedalaman dan hanya terdapat epipedon ochrik, histik atau sulfurik serta kandungan pasir kurang dari 60 % Tanah ini cocok diusahakan untuk pertanian secara intensif dan di bagian cekungan pada umumnya cocok diusahakan untuk persawahan.
b. Jenis tanah podsolik merah kuning merupakan tanah dengan susunan yang beragam dengan horizon penimbunan liat (horizon argilik), dan kejenuhan basa kurang dari 50 % tidak mempunyai harison albik/mollik.
c. Kompleks Podsolik Merah Kuning dan Laterik merupakan tanah khas daerah tropika lembab yang agak tinggi (terutama laterik). Tanah ini mempunyai solum yang tebal, berwarna merah kekuningan seragam, dan biasanya mengandung liat lebih dari 50 %, tingkat kebasaan cukup tinggi, tanah gembur dan juga solum tanah yang dalam.Tanah ini penting bagi pertanian, tapi karena unsur haranya kurang maka diperlukan pemupukan.
d. Podsolik Merah Kuning-Podsol, jenis tanah ini bersifat gembur dan mempunyai perkembangan penampang. Cenderung tidak seberapa mantap dan teguh, peka terhadap pengikisan. Dari segi kimia, jenis tanah ini asam dan miskin, lebih asam dan lebih miskin dari tanah latosol. Untuk keperluan pertanian, jenis tanah ini perlu pemupukan lengkap dan tindak pengawetan.
e. Kompleks Podsolik Merah Kuning Latosol-Litosol, batas-batas jenis tanah antara podsolik merah kuning, latosol dan litosol ini dilapangan tidak jelas adanya sehingga merupakan perpaduan (kompleks)
f. Organosol Glei Humus merupakan tanah organik yang sebagian besar merupakan tanah gambut dengan lapisan organik setebal 40 cm atau lebih, pada umumnya terdapat di dataran rendah dan basah. Tanah ini mempunyai unsur hara yang kurang, sehingga kurang baik untuk diusahakan pada sektor pertanian. Lahan pada daerah ini pada umumya bersifat labil.
g. Jenis tanah latosol pada umumnya mengandung liat lebih dari 60 %, remah sampai gumpal, gembur, warna tanah seragam dengan batas-batas horison yang kabur, solum tanah dalam (lebih dari 150 cm), kejenuhan basa kurang dari 50 %, umumnya mempunyai epipedon umbrik dan horison kambik.
h. Laterik, Tanah laterik adalah tanah tidak subur yang tadinya subur dan kaya akan unsur hara, namun unsur hara tersebut hilang karena larut dibawa oleh air hujan yang tinggi
i. Litosol, Klasifikasi jenis tanah ini diberikan kepada tanah-tanah yang berada pada batuan kukuh sampai kedalaman 20 cm dari permukaan tanah (Pusat Penelitian Tanah, 1993). Tanah ini merupakan tanah-tanah yang baru berkembang sebagai hasil dari iklim yang lemah (misal terlalu kering), letusan vulkan atau topografi yang miring atau bergelombang (Darmawidjaja, 1997) dan seringkali tampak sebagai batuan padat yang padu. Untuk meningkatkan produktivitasnya, tanah Litosol harus dipercepat proses pelapukannya. Tindakan penghutanan, penanaman tanaman-tanaman keras dan penahanan erosi dapat mempercepat proses perkembangan solum tanah.
j. Regosol – Podsol jenis tanah ini terbentuk dari bahan induk abu dan pasir vulkan intermedier. Bentuk wilayahnya berombak sampai bergunung. Tanah Regosol belum jelas menempatkan perbedaan horizon-horizon. Tanah ini dicirikan oleh tingginya kandungan pasir yaitu lebih besar dari 60 %. Solum tanah bisa bervariasi walaupun umumnya agak dangkal-agak dalam (50 – 75 cm). Drainase umumnya baik dengan kemampuan tanah meresapkan air yang agak tinggi. Tekstur tanah ini biasanya kasar, tanpa ada struktur tanah, konsistensi lepas sampai gembur dan keasaman tanah dengan pH sekitar 6 -7.

Peta Sebaran jenis tanah di wilayah kerja BPDAS Barito

jenis_tanah

Sumber : Peta Jenis Tanah Propinsi Kalimantan Selatan dan Tengah oleh BPN Prop Kal – Sel dan Kal – Teng

Formasi Geologi yang terbentuk di wilayah kerja BPDAS Barito sebagian besar bertipe Qa (Alluvium) kemudian juga terdapat Tipe Tet (Formasi Tanjung), Tomb (Formasi Berai), Tomm (Formasi Montalat), Tmw (Formasi Warukin), TQd (Formasi Dahor), Kak (Formasi Keramaian) dan Kap (Formasi Pudak). Jika dilihat tingkat kerawanannya terhadap banjir maka setiap formasi memiliki karakteristik tertentu. Gambaran geologi pada wilayah kerja BPDAS Barito dapat dilihat pada Tabel 9. berikut ini :

Keterangan :
Qa (Aluvium) = Lumpur kelabu hitam, lempung bersisipan limonit dan gambut, pasir, lanau, kerikil, kerakal dan bongkahan batuan yang lebih tua. Merupakan hasil endapan sungai atau dataran banjir, rawa, pantai dan delta. Jika memiliki kedalaman lapisan kedap dangkal akan menunjukkan permeabilitas rendah.
Formasi Tanjung (Tet) = Bagian bawah perselingan antara batupasir, serpih, batulanau dan konglomerat aneka bahan, sebagian bersifat gampingan. Komponen konglomerat antara lain : kuarsa, felspar, granit, sekis, gabro dan basal. Di dalam batupasir kuarsa dijumpai komponen glaukonit. Bagian atas, perselingan antara batupasir kuarsa bermika, batulanau, batugamping, dan batubara. Batuan campuran bertekstur agak kasar dan halus dengan didominasi tekstur kasar, menunjukkan permeabilitas sedang.
TQd (Dahor) = Batupasir kurang padat sampai lepas, bersisipan batulanau, serpih, lignit dan limonit, kerakal kuarsa asap dan basal Bagian bawah ditandai oleh lapisan batubara dan batugamping
Formasi Montalat (Tomm) = Batupasir kursa putih berstruktur silang siur, sebagian gampingan, bersisipan batulanau/ serpih dan batubara
Formasi Berai (Tomb) = Batugamping berfosil berlapis dengan batulempung, napal dan batubara, sebagian tersilikan dan mengandung limolit, bintal rijang.
Formasi Warukin (Tmw) = Batupasir kasar-sedang, sebagian konglomeratan, bersisipan batulanau dan serpih, setengah padat, berlapis dan berstruktur perairan silang-siur dan lapisan bersusun, batubara dan batugamping. Batupasir dan batulempung karbonan setempat mengandung konkresi besi.
Formasi Keramaian (Kak) = Perselingan batupasir (vulkarenite) berwarna kelabu kehitaman sangat padat, dengan batulanau dan batulempung, setempat sisipan batu gamping konglomeratan, berasosiasi dengan rijang.
Formasi Pudak (Kap) = Lava dengan perselingan konglomerat/breksi vulkaniklasrik (hialoklastik) dan batupasir kotor dengan olistolit batugamping, basal porfir, ignimbrite, batuan malihan dan ultramafik.

 

4. Geomorfologi
Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari bentuk lahan, menekankan pada genesis (asal mula) dan proses-proses yang mengubahnya dalam konteks penataan ruang wilayah. Bentuk lahan juga dapat digambarkan yaitu bentukan khas yang menyusun permukaan bumi sebagai hasil interaksi antara batuan induk dengan struktur tertentu dengan proses geomorfologi yang mencakup proses eksogenik dan endogenik.
Menurut Strahler (1983), bentuk lahan adalah konfigurasi permukaan lahan yang dihasilkan oleh proses alam. Lebih lanjut Whitton (1984) menyatakan bahwa bentuk lahan merupakan morfologi dan karakteristik permukaan lahan sebagai hasil interaksi antara proses fisik dan gerakan kerak dengan geologi lapisan permukaan bumi.
Berdasarkan kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa bentuk lahan merupakan bentangan permukaan lahan yang mempunyai relief khas karena pengaruh kuat dari struktur kulit bumi dan akibat dari proses alam yang bekerja pada batuan di dalam ruang dan waktu tertentu. Masing-masing bentuk lahan dicirikan oleh adanya perbedaan dalam hal struktur dan proses geomorfologi, relief/topografi dan material penyusun (litologi).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lereng bawah, tengah, dan atas dari perbukitan dan pegunungan merupakan hulu DAS, dataran merupakan tengah DAS, dan rawa belakang ( back swamp) merupakan hilir. Pada tahap ini peta bentuk lahan diperlukan untuk penentuan hulu-tengah-hilir DAS. Keadaan morfologi pada SWP DAS di wilayah kerja BPDAS Barito dapat dilihat pada Gambar 4.

morfologi

Peta Morfologi DAS di wilayah kerja BPDAS Barito

5. Topografi dan Bentuk Wilayah

Keadaan topografi dapat menggambarkan keadaan suatu wilayah dalam suatu DAS. Kondisi topografi sangat berpengaruh terhadap terjadinya erosi dan sedimentasi, keduanya dianggap merupakan indikator kerusakan yang terjadi pada suatu DAS. Pada daerah dengan topografi berbukit atau bergunung umumnya termasuk pada kelerengan yang curam dan biasanya potensi kerusakan lahan sangat nyata, besarnya kecepatan aliran permukaan tanah (surface run-off) menyebabkan tingginya pengikisan permukaan tanah dan rendahnya kesempatan aliran air untuk masuk kedalam tanah (infiltrasi). Dengan demikian karakteristik topografi suatu wilayah berkaitan erat dengan keadaan kelerengannya.
Kecepatan air larian yang besar umumnya ditentukan oleh kemiringan lereng yang tidak terputus dan panjang serta terkonsentrasi pada saluran-saluran sempit yang mempunyai potensi yang besar untuk terjadinya erosi alur dan erosi parit. Kedudukan lereng juga menentukan besar kecilnya erosi yang terjadi, dimana lereng bagian bawah lebih mudah tererosi dibandingkan lereng bagian atas, karena momentum air larian lebih besar dan kecepatan air larian lebih terkonsentrasi ketika mencapai lereng bagian bawah.
Secara umum kondisi topografi dan kelerengan pada wilayah kerja BPDAS Barito sebagaimana gambar 5.

kelerengan

Peta Sebaran Kelerengan di wilayah kerja BPDAS Barito

6. Hidrologi dan Prasarana Pengairan
Kondisi hidrologi dalam hal ini tingkat percabangan dan kerapatan alur sungai pada suatu DAS akan sangat mempengaruhi prilaku hidrologi DAS itu sendiri. Aspek hidrologi yang dapat menggambarkan kondisi DAS itu sendiri yaitu seberapa panjang alur sungai dan seberapa luas cathment areanya (DAS). Kedua aspek tersebut dalam beberapa literatur dinyatakan dalam bentuk kerapatan alur sungai (drainage density/Dd).
Kerapatan sungai atau kepadatan aliran merupakan perbandingan antara panjang seluruh alur sungai terhadap luas permukaan lahan yang menampung sungai tersebut. Menurut Lynsley (1949), dikatakan bahwa jika nilai kerapatan aliran lebih kecil dari 1 mile/mile2 (0,62 km/km2), maka DAS tersebut akan mengalami penggenangan sedangkan jika lebih besar dari 5 mile/mile2 (3,10 km/km2), maka DAS tersebut akan sering mengalami kekeringan.
Secara umum, semakin besar nilai Dd akan semakin baik sistem pengaliran (drainase) di daerah tersebut, artinya bahwa semakin besar jumlah air larian total (semakin kecil infiltrasi) akan semakin kecil air tanah yang tersimpan di daerah tersebut. Dengan demikian, Dd mempunyai korelasi dengan perilaku laju air larian, jumlah air larian total yang terjadi dan jumlah air tanah yang tersimpan.

Adapun klasifikasi indeks kerapatan sungai tersebut adalah :
– Dd : < 0,25 km/km2 : Rendah
– Dd : 0,25 – 10 km/km2 : Sedang
– Dd : 10 – 25 km/km2 : tinggi
– Dd : > 25 km/km2 : sangat Tinggi
Berdasarkan indeks tersebut diatas, dapat diperkirakan suatu gejala yang berhubungan dengan aliran sungai, yaitu :
Jika nilai Dd rendah, maka alur sungai melewati batuan dengan resistensi keras sehingga angkutan sedimen yang terangkut aliran sungai lebih kecil jika dibandingkan pada alur sungai yang melewati batuan dengan resistensi yang lebih lunak, apabila kondisi lain yang mempengaruhinya sama
Jika nilai Dd sangat tinggi, maka alur sungainya melewati batuan yang kedap air. Keadaan ini akan menunjukan bahwa air hujan yang menjadi aliran akan lebih besar jika dibandingkan suatu daerah dengan Dd rendah melewati batuan yang permeabilitasnya besar.
Dengan demikian pada beberapa DAS dan Sub DAS tersebut diperlukan upaya pencegahan terhadap terjadinya genangan, seperti langkah-langkah penanggulangan melalui normalisasi sungai (restorasi), pelebaran lembah sungai, penertiban hunian di sempadan sungai dan upaya lainnya yang bersifat konservatif.

7. Penggunaan Lahan
Vegetasi alami suatu kawasan dipengaruhi oleh perpaduan beberapa faktor seperti topografi, ketinggian dari permukaan air laut, geologi, tanah, iklim dan pasokan air, terutama curah hujan. Kalimantan terletak di khatulistiwa yang wilayahnya menerima panas sepanjang tahun dan merupakan daerah terlembab di Indonesia. Kondisi tersebut bersama keadaan geologi dan iklim mendorong timbulnya penggolongan dan keragaman jenis yang tinggi.
Suatu lahan ditinjau secara geografis adalah sebagai suatu wilayah tertentu di atas permukaan bumi, khususnya meliputi semua benda penyusun biosfer yang dapat dianggap bersifat menetap atau berpindah berada di atas dan di bawah wilayah tersebut, meliputi atmosfer, tanah, dan batuan induk, topografi, air, tumbuh-tumbuhan dan binatang, serta akibat-akibat kegiatan manusia pada masa lampau maupun sekarang, yang semuanya memiliki pengaruh nyata terhadap penggunaan lahan oleh manusia, pada masa sekarang maupun masa yang akan datang (Vink, 1975).
Penggunaan lahan adalah segala macam campur tangan manusia, baik secara menetap ataupun berpindah – pindah terhadap suatu kelompok sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan baik material maupun spiritual, ataupun kebutuhan kedua-duanya. (Malingreau, 1978). Penggunaan lahan pada umumnya digunakan untuk mengacu pemanfaatan lahan masa kini (present land use), karena aktivitas manusia bersifat dinamis, sehingga perhatian kajian seringkali diarahkan pada perubahan-perubahan penggunaan lahan (baik secara kualitatif maupun kuantitatif) atau segala sesuatu yang berpengaruh pada lahan.
Penggunaan lahan dalam kenyataannya di lapangan menunjukkan suatu kompleksitas. Dalam inventarisasi seringkali dilakukan pengelompokkan dan penggolongan atau klasifikasi agar dapat diperlakukan sebagai unit-unit yang seragam untuk suatu tujuan khusus.
Sebaran jenis penggunaan lahan di wilayah kerja BPDAS Barito disajikan pada Gambar 6.

Penggunaan%20Lahan

Peta Kondisi Penggunaan Lahan di wilayah kerja BPDAS Barito

8. Keadaan vegetasi / liputan lahan
Dalam sistem hidrologi, peranan vegetasi sangat penting artinya karena kemungkinan intervensi manusia terhadap unsur tersebut sangatlah besar. Vegetasi dapat merubah sifat fisik dan kimia tanah dalam hubungannya dengan air dan dapat mempengaruhi kondisi permukaan tanah, dengan demikian akan mempengaruhi besar kecilnya aliran air permukaan.
Secara umum, pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi yaitu ; Melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan (menurunkan kecepatan terminal dan memperkecil diameter air hujan, Menurunkan kecepatan dan volume air larian, Menahan partikel partikel tanah pada tempatnya melalui sistem perakaran dan serasah yang dihasilkan serta Mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air.
Pengelolaan vegetasi khususnya vegetasi hutan, dapat mempengaruhi waktu dan penyebaran aliran air. Beberapa pengelola DAS beranggapan bahwa hutan dapat dipandang sebagai pengatur aliran air (streamflow regulator), artinya bahwa hutan dapat menyimpan air selama musim hujan dan melepaskannya pada musim kemarau. Dengan demikian keberadaan hutan dapat menghidupkan mata air yang telah lama tidak mengalirkan air, mencegah terjadinya banjir besar (flash flood). Hilangnya areal hutan akan mengakibatkan terjadinya kekeringan atau bahkan dapat mengubah daerah yang sebelumnya tampak hijau dan subur menjadi daerah seperti padang pasir.
Data Penutupan lahan diwilayah kerja BPDAS Barito diperoleh dari hasil interpretasi Citra Landsat ETm 7+ hasil perekaman tahun 2009 dan telah dilakukan cek lapangan. Keadaan Vegetasi Penutup lahan di wilayah kerja BPDAS Barito meliputi hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, Hutan tanaman, semak belukar, lahan terbuka, dan badan air. Vegetasi hutan lahan kering baik primer maupun sekunder, umumnya berada di bagian hulu DAS ataupun hutan lindung. Vegetasi hutan tanaman diwilayah ini merupakan hutan yang dikelola untuk kebutuhan industri kayu dengan jenis fastgrowing. Sebaran vegetasi penutup lahan di wilayah kerja BPDAS Barito berdasarkan SWP DAS disajikan pada Gambar 7.

Penutupan_lahan

Peta Sebaran Penutupan lahan di wilayah kerja BPDAS Barito

B. Keadaan Sosial Ekonomi

1. Kependudukan

Dari data kependudukan diketahui bahwa jumlah penduduk di wilayah kerja BPDAS Barito sebanyak 3.795.307 jiwa, dimana 3.396.680 jiwa berada di Provinsi Kalimantan Selatan dan sisanya berada di Provinsi Kalimantan Tengah (4 kabupaten). Jika dilihat pada aspek pertumbuhan penduduk maka di Kalimantan selatan rata-rata lebih dari 1 % per tahun, dan di Kalimantan Tengah kurang dari 1 % pertahun. Pertambahan penduduk yang cepat umumnya disebabkan karena sarana dan prasarana yang lebih memadai serta kemudahan akses dari aspek kesehatan, komunikasi serta pelayanan pemerintahan. Secara rinci data pertumbuhan penduduk di wilayah kerja BPDAS Barito
Tabel 18. Jumlah Penduduk dan Pertumbuhan rata-rata di wilayah kerja BPDAS Barito
Sumber Data: BPS, Kalimantan Selatan Tahun 2007 dan Kalimantan Tengah Dalam Angka tahun 2006.

Kepadatan penduduk diamati dari dua sisi pandang, pertama dari sisi aktivitas masyarakat yang banyak menggantungkan hidupnya pada lahan, berarti sebagai petani dan yang kedua penyebaran penduduk yang belum merata yang disebabkan oleh keadaan alamnya sendiri yang kurang mendukung.
Secara geografis, kepadatan penduduk diartikan perbandingan jumlah penduduk yang berdomisili di wilayah tersebut dengan luas wilayah dalam satuan jiwa/Km2. Dengan data kepadatan penduduk, maka faktor dukungan masyarakat terhadap kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan harus dapat ditingkatkan melalui berbagai kegiatan yang bersifat pembelajaran.
Adapun besarnya tingkat kepadatan penduduk di wilayah kerja BPDAS Barito secara rinci pada Tabel berikut :
Tabel 19. Tingkat Kepadatan Penduduk di Provinsi Kalimantan Selatan
Sumber: – BPS, buku Provinsi Kalimantan Selatan Dalam Angka, 2007
– BPS, buku Provinsi Kalimantan Tengah Dalam Angka Tahun 2006
Kepadatan penduduk secara geografis tertinggi terdapat di Kota Banjarmasin yaitu 7.884 jiwa/km2, artinya bahwa pada saat ini jumlah penduduk yang menempati lahan seluas 1 km2 adalah 8.470 jiwa dan yang terendah terdapat di Kabupaten Murung raya, yaitu 3,6 jiwa/km2.

2. Mata Pencaharian dan Pendapatan

Sumber pendapatan penduduk yang berasal dari lahan sangat besar pengaruhnya pada sumber daya alam itu sendiri, apabila petani hanya mengandalkan hidupnya dari lahan itu saja. Jumlah penduduk bekerja dalam suatu wilayah akan sangat menentukan tingkat pertumbuhan khususnya dimana sumber mata pencaharian itu berada. Di Provinsi Kalimantan Selatan jumlah penduduk yang bekerja disajikan sebagaimana Tabel 20. berikut ini.

Tabel 20. Tenaga kerja di Provinsi Kalimantan Selatan
Sumber data : Statistik Provinsi Kalimantan Dalam Angka (KDA) Tahun 2007
Pendapatan masyarakat dari sektor pertanian umumnya berasal dari usaha persawahan dan ladang, dimana lahan yang diusahakan terutama berada di daerah hilir yaitu Kabupaten Banjar, kabupaten Barito Kuala, dan Kabupaten tanah laut. Umumnya tanah didaerah tersebut mengandung kadar ke asaman cukup tinggi.

 

3. Pemilikan dan Penggunaan Lahan

Setiap lahan pada wilayah sudah barang tentu terjadi pemilikan baik itu oleh perorangan maupun oleh institusi pemerintahan, pemilikan lahan secara umum memberikan dampak terhadap pola penggunaan lahan yang terjadi atau yang akan terjadi dimasa mendatang. Jenis penggunaan lahan oleh masyarakat sangat tergantung pada kebiasaan dan mata pencaharian masyarakat itu sendiri.
Luas pemilikan lahan pertanian dalam suatu wilayah akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), mengingat petani merupakan aktor utama dalamnya. Dengan demikian, mencapai tujuan RHL yaitu pemulihan kerusakan hutan dan lahan maka perlu diketahui jumlah petani dalam suatu DAS. Di wilayah kerja BPDAS Barito, jumlah petani akan mencerminkan sejauhmana kemampuan kita dalam merehabilitasi lahan. Jumlah petani, luas lahan pertanian serta indeks ketersediaan lahan di setiap kabupaten/kota di wilayah kerja BPDAS Barito sebagaimana Tabel 21. berikut :
Tabel 21. Jumlah petani serta luas lahan pertanian di wilayah kerja BPDAS Barito
Sumber data : Kalimantan Selatan Dalam Angka (KDA) Tahun 2007 oleh BPS Prov. Kal-Sel
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa kabupaten Banjar mempunyai jumlah kepala keluarga petani terbanyak dibandingkan kabupaten lain, hal ini disebabkan karena luasnya wilayah di kabupaten ini serta tanah di kabupaten banjar lebih cocok untuk kegiatan pertanian baik pada daerah hulu (podsolik merah kuning) sampai dengan daerah hilir (alluvial dan organosol gleihumus).

4. Pola Usahatani dan Produksi Pertanian

Pola usaha tani yang umumnya berkembang di masyarakat pada wilayah kerja BPDAS Barito yaitu tanaman semusim, dengan mengandalkan hujan sebagai sumber airnya atau hanya sebagian kecil yang mengandalkan irigasi. Berikut disajikan jenis tanaman pertanian serta produksi pertanian secara umum di wilayah kerja BPDAS Barito sebagaimana Tabel 22. berikut :
Tabel 22. Jenis tanaman pertanian, kondisi tanaman dan produksi rata-rata
Sumber data : Kalimantan Selatan Dalam Angka (KDA) Tahun 2007 oleh BPS Prov. Kal-Sel
Jika dilihat berdasarkan wilayah administrasi, maka jenis pertanian yang lebih banyak diusahakan adalah padi sawah dan kabupaten Barito Kuala merupakan penghasil padi terbesar di Kalimantan Selatan yakni 316.312 ton pertahun dengan luas lahan 91.893 ha atau 3,4 ton/ha pertahun. Secara geografis kabupaten Barito kuala merupakan daerah hilir dengan jenis tanah organosol gleihumus yang pada umumnya merupakan tanah yang kaya akan unsur hara hasil pelapukan bahan organik. Pada umumnya jenis tanah di wilayah ini memiliki tingkat keasaman tanah yang cukup tinggi sehingga perlu perlakuan yang lebih terhadap lahan yang secara langsung perlu biaya tambahan dalam produksi pertanian.
Secara rinci luas lahan setiap jenis usaha pertanian di kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan disajikan sebagaimana Tabel 23. berikut ini :
Tabel 23. Data jenis usaha pertanian serta produksi pertanian tiap Kabupaten/kota di wilayah Kerja BPDAS Barito
Sumber data : – Data Kalimantan Selatan Dalam Angka (KDA) Tahun 2007 oleh BPS Prov. Kal-Sel

 

5. Pendidikan

Tingkat pendidikan rata-rata yang dimiliki penduduk dalam suatu wilayah akan menggambarkan sejauhmana dan cepat tidaknya adopsi kegiatan konservasi tanah dan air dalam hal ini kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.
Pada umumnya di setiap kecamatan di Provinsi Kalimantan Selatan telah terdapat paling sedikit 1 (satu) sekolah tingkat SLTA (SMA) dan 3 (tiga) SLTP (SMP) atau sederajat. Sehingga rata-rata pendidikan minimum yang telah dijalani oleh masyarakat di Provinsi Kalimantan Selatan saat ini adalah setingkat SLTA atau sederajat.
Untuk 4 (empat) Kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah yang termasuk dalam wilayah kerja BPDAS Barito yaitu Kabupaten Barito Selatan, Barito Timur, Barito Utara, dan Murung Raya umumnya tingkat pendidikan masyarakat masih rendah dimana lapangan pekerjaan lebih mengandalkan pemanfaatan sumber daya alam (hutan). Infrastruktur pendidikan pada 4 (empat) kabupaten ini masih relatif sedikit dimana pada setiap kecamatan hanya terdapat 2 – 3 buah SLTP (SMP), sedangkan SLTA (SMA) hanya terdapat di ibukota Kabupaten dengan jarak rata-rata puluhan kilometer dari tiap kecamatan.

6. Sarana dan Prasarana Perekonomian

a. Pasar
Keberadaan pasar dan bentuknya mempunyai peranan penting terhadap mata rantai pemasaran hasil produk-produk usaha tani dan berperan sangat besar terhadap percepatan pengembangan perekonomian pedesaan.
Pada wilayah kerja BPDAS Barito diketahui bahwa dari 155 Kecamatan yang ada sudah terdapat pasar yang sedang ber-kembang, dimana diharapkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan perekonomian pedesaan. Disisi lain dibeberapa wilayah pedesaan juga sudah terdapat pasar namun tingkat kecukupanya dan intensitasnya masih belum memadai.
b. Bank dan Koperasi
Bank dan Koperasi mempunyai peranan penting dalam aksebilitas pasar kredit formal guna memberi penguatan dan menumbuh kembangkan permodalan usaha tani di wilayah pedesaan.
Berdasarkan data bahwa di seluruh Kecamatan sebanyak 529 Bank dan Koperasi terdapat pada wilayah kerja BPDAS Barito bahkan terdapat pula yang berada pada wilayah pedesaan.
Apabila Bank dan Koperasi yang ada mampu mendorong secara aktif kepada petani dan usaha taninya dalam memanfaatkan ketersediaan permodalan yang dapat digunakan untuk peningkatan usaha tani maka niscaya pengembangan perekonomian pedesaan yang berbasis pada sektor pertanian akan dapat berkembang pesat.
c. Perhubungan dan Komunikasi
Aksesbilitas antar wilayah dengan jaringan komunikasi mempunyai peranan penting dalam pengembangan perekonomian pedesaan yang berbasis pertanian dan kehutanan. Penataan dan memper-lancar jaringan jalan terutama jalan penghubung usaha pertanian antar wilayah pedesaan serta sistem komunikasi hingga mampu menyentuh seluruh pedesaan adalah hal yang yang tidak bisa ditunda lagi dan perlu percepatan program tersebut. Berdasarkan kondisi lapangan dibeberapa wilayah pedesaan kondisinya kurang memadai dan perlu peningkatan kwalitasnya.
Keadaan sarana prasarana perhubungan dan komunikasi secara umum belum mencukupi.

7. Sarana Transportasi

a. Transportasi Sungai
Sungai-sungai yang dapat dilayari antara lain adalah Sungai Barito, Sungai Negara, Sungai Tabalong, Sungai Alalak, Sungai Martapura dan Sungai Balangan. Sungai Barito dan Sungai Kapuas sudah sejak waktu lampau merupakan Jalur Transportasi utama di kawasan ini. Sungai Barito dari Muara (Wilayah Kalimantan Selatan) sampai ke hulu mempunyai panjang lebih kurang 900 Km dengan ruas yang dapat dilayari sepanjang lebih kurang 700 Km. Sedangkan Sungai Kapuas Mempunyai Panjang lebih kurang 600 Km dengan ruas yang dapat dilayari lebih kurang 420 Km.
b. Transportasi Darat
Perkembangan perekonomian suatu daerah sangat dipengaruhi oleh lancarnya tahapan distribusi. Salah satunya tergantung kondisi sarana dan prasarana angkutan. Salah satu prasarana angkutan khususnya angkutan darat adalah mutu jalan. Pada tahun 2006 tercatat panjang jalan Nasional 876 km dan jalan Provinsi di Kalimantan Selatan 1.056,38 km. Total panjang jalan Nasional dan Provinsi 1.932,38 km dari jalan sepanjang 694,03 km atau sekitar 35,9 %. Untuk kondisi jalan yang rusak parah yaitu sepanjang 285,11 km atau 14,8 %.

WP-Backgrounds Lite by InoPlugs Web Design and Juwelier Schönmann 1010 Wien