MORATORIUM KEHUTANAN INDONESIA
Oleh : Perdana Eka Putra
Latar Belakang
Isu Pemanasan Global sudah lama menjadi pembahasan pada pertemuan global terkait lingkungan. Beberapa tahun belakangan pun menjadi isu utama karena dampaknya pada bumi sudah sangat mengkhawatirkan. Hal yang paling terasa akibat Pemanasan global adalah perubahan suhu permukaan bumi yang setiap tahunnya mengalami peningkatan karena efek rumah kaca yang disebabkan oleh emisi gas CO2 ke atmosfir bumi.
Akibat itu Negara-negara di dunia yang menyadari pentingnya hal tersebut merasa perlu mengambil langkah untuk bagaimana mengurangi emisi gas CO2 salah satunya melalui Pengurangan Emisi Carbon oleh dampak deforestasi dan degradasi hutan. Salah satunya adalah pada Pertemuan UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) di Bali pada tanggal 3-14 Desember 2007 yang menghasilkan REDD+ . Melalui kerjasama sama REDD+pada tanggal 26 Mei 2010 di Oslo, Norwegia, Pemerintah Indonesia dan Norwegia menandatagani perjanjian kerjasama (Lol) yang menjelaskan kerangka kerja untuk kerja sama untuk menghentikan deforestrasi dan degradasi hutan di Indonesia.
Kerjasama REDD+ ini terdiri dari Tiga Tahapan tahap pertama dimulai 2010, kedua pada Januari 2011 hingga 2014 dan tahap ketiga pasca 2014.
Tahap pertama berupa kegiatan konsultasi dan penyusunan strategi nasional REDD+, pembentukan lembaga REDD+ langsung yang keberadaannya langsung dibawah Presiden RI. Selain itu juga dilakukan pembentukan lembaga MRV (monitoring, reporting and verification) yang independen dan dipercaya, pemilihan instrumen pendanaan dan pemilihan propinsi uji coba.
Sedangkan tahap kedua meliputi operasionalisasi instrumen pendanaan, peluncuran program uji coba propinsi REDD+ yang pertama, dan penghentian pengeluaran ijin baru konversi hutan alam dan gambut selama dua tahun. Selain itu juga dilakukan pembuatan database lahan hutan yang rusak atau terdegradasi, ujicoba provinsi kedua REDD+ dan pelaksanaan MRV untuk tier kedua.
Tahap ketiga yaitu pelaksanaan lanjutan strategi dan program REDD+ di tingkat nasional, pemantauan, pengkajian dan verifikasi program REDD+ oleh lembaga MRV yang independen, serta laporan ke UNFCCC mengenai emisi dari lahan hutan dan gambut yang telah dilakukan.
Tindak Lanjut Redd + Dan Moratorium Kehutanan
Berdasarkan Lol tersebut Indonesia sebagai salah satu Negara yang memiliki hutan terbesar di dunia berkomitmen untuk dapat mengurangi proses emisi dan hal ini kemudian ditindak lanjuti dengan keluarnya inpres no.10/2011, Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.323/Menhut-II/2011, Keputusan Menteri Kehutanan 2771/ Menhut-VII/IPSDH/2012 .
Tujuan dari inpres dan Keputusan menteri adalah untuk menunda pemberian ijin pemberian ijin HPH dan konversi hutan dan lahan gambut serta dimaksudkan untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan pembangunan ekonomi nasional dan upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang dilakukan melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) dengan penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut.
Ruang lingkup Penundaan izin baru meliputi penundaan pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) dan area penggunaan. Namun, dengan beberapa pengecualian :
- Permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan;
- Pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu: geothermal, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu;
- Perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku; dan\
- Restorasi (sumber ttp://www.gultomlawconsultants.com/ moratorium-perizinan- kehutanan-dan-dampaknya-terhadap-izin-kehutanan)
Dampak Moratorium Kehutanan
Setiap Kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah terkadang ada pro dan kontra, bagitu juga saat dikeluarkannya kebijakan morotarium kehutanan. Ada pihak yang mengganggap kebijakan ini memang diperlukan namun ada juga yang merasa gerah dan terganggu karena hal tersebut.
Menurut Daniel Murdiyarso dkk dalam bukunya “Morotarium Hutan Indonesia” Morotarium Kehutanan di Indonesia dapat kemungkinan dapat berdampak pada lingkungan dan ekonomi. Secara lingkungan Morotarium kehutanan difokuskan pada lahan gambut dimana Laju deforestasi di lahan gambut berhutan selama 2000-2005 adalah sekitar 100 000 ha per tahun. Sebagian besar gambut dalam yang telah gundul dan rusak terletak di Provinsi Riau (Kementerian Kehutanan 2008). Kajian terbaru menunjukkan bahwa laju deforestasi di hutan gambut di Asia Tenggara kepulauan (terutama Indonesia) selama 2000-2010 sebesar 2,2% per tahun, jauh lebih tinggi dari laju deforestasi tahunan di hutan hujan dataran rendah sebesar 1,2% (Miettinen, J, Shi, C.H. dan Liew, S.C. 2011 Deforestation rates in insular Southeast Asia between 2000 and 2010. Global Change Biology 17: 2261–2270).
Dengan laju kerusakan yang demikian tinggi akibat konversi yang berlanjut dengan drainase, kebakaran, pemadatan dan oksidasi gambut, menghindari konversi lahan gambut dangkal pun akan mengurangi emisi CO2 dan gas rumah kaca lainnya dalam jumlah yang sangat berarti. Seandainya moratorium ditujukan untuk melindungi seluruh lahan gambut, tanpa memerhatikan kedalaman dan jenis tutupan hutan, bahkan melindungi lahan gambut yang tak berhutan sekalipun maka penurunan emisi karbon akan sangat besar.
Secara ekonomi, berdampak pada perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit merasa bahwa morotarium ini akan membatasi program perluasan perkebunan dan akhirnya berdampak pada penurunan terhadap permintaan tenaga kerja bidang perkebunan dan akhirnya menurunkan produktivitas, namun pernyataan ini masih perlu diteliti lebih lanjut. Karena Pilihan untuk meningkatkan produktivitas dapat dibuat sambil memperbaiki prasarana, yang dengan sendirinya menciptakan lapangan pekerjaan dan menghasilkan pendapatan tambahan bagi masyarakat setempat.
MORATORIUM SEKARANG…???
13 Mei 2015, akhir dari morotarium kehutanan dan banyak pihak yang peduli terhadap hutan dan lingkungan di Indonesia merasa hal tersebut seperti kehilangan pelindung bagi keberlangsungan hutan dan lingkungan yang sebenarnya harus dilestarikan. Hal ini menjadi jalan bagi para pihak yang berkepentingan untuk meminta evaluasi bahkan menghentikan kebijakan tersebut.
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sekarang sedang sedang mengkaji kebijakan moratorium hutan. Langkah evaluasi moratorium hutan dilakukan untuk menyerap aspirasi dari kalangan dunia usaha yang merasa keberatan dengan kebijakan tersebut, karena dunia usaha pun diberikan kesempatan untuk memberikan argumennya terhadap penolakan perpanjangan morotarium tersebut, dan pada pertengahan Mei 2015 sebelum morotarium berakhir, Pemerintah sudah bisa menjawab pertanyaan mengenai keberlangsungan kebijakan ini. Diluar daripada itu perlu disadari juga bahwa menjaga dan melindungi hutan memang sudah menjadi tanggung jawab kita khususnya pemerintah di negeri ini karena secara langsung berdampak pada iklim global dunia sekarang.