KAWASAN BERGAMBUT YANG TELAH TERDEGRADASI
KAWASAN BERGAMBUT YANG TELAH TERDEGRADASI
Oleh : Giri Suryanta, MSc.
Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) Barito pada wilayah kerjanya memiliki kawasan bergambut seluas kisaran 314.000-an ha, baik yang berada di luar maupun di dalam wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan Gambar 1 dinyatakan bahwa kawasan bergambut terluas ada di Kab. Barito Selatan (84.201,7 ha), sedangkan terkecil berada di Kota Banjarmasin (133,4 ha).
Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.32/Menhut-II/2010 jo P.12/Menhut-II/2012 tentang Tata Cara Penyusunan RTk RHL DAS Pada Kawasan Bergambut Berfungsi Lindung Dan Budidaya menjadi dasar penghitungan secara kartografis dan parametris perihal sebaran lahan kritis pada kawasan bergambut serta indikatif sasaran rehabilitasi hutan dan lahannya. Kawasan bergambut pada wilayah kerja BPDASHL Barito tercatat Sangat Kritis seluas 25.000-an ha, Kritis seluas 278.000-an ha dan Tidak Kritis seluas 27.000-an ha. Tingkat kekritisan tersebut yang menjadikan concern untuk direhabilitasi, baik secara vegetatif maupun sipil teknis dengan berbagai pendekatan.
Berdasarkan data RTk-RHL DAS Kawasan Bergambut yang dikeluarkan oleh BPDASHL Barito pada tahun 2012 dinyatakan bahwa Rusak Berat (Sangat Kritis) gambut terjadi di Kab. Hulu Sungai Selatan pada kisaran luas 11.248,1 ha. Sedangkan yang Rusak Ringan (Tidak Kritis) ada pada gambut di Kab. Tabalong (1.631,1 ha), Kab. Barito Selatan (3.523,8 ha) dan Kab. Barito Timur (5.611,4 ha). Pada areal gambut yang terdekat dari wilayah perkotaan, semisal Martapura, Banjarbaru dan Banjarmasin, banyak mengalami Rusak Sedang (Kritis), dan selebihnya di Kab/Kota lainnya pada kondisi Rusak Sedang pula.
Tabel 1. Kondisi Kekritisan Gambut Pada Kab/Kota Wilayah Kerja BPDASHL Barito
Kekritisan atau kerusakan lahan gambut dicirikan dengan telah berubahnya kondisi ekosistem kawasan bergambut yang alami, yaitu kondisi yang bekerja secara alami dalam menopang fungsi ekologis maupun hidrologis lahan gambut pada mozaic bentanglahan tertentu. Kerusakan lahan gambut merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan dikarenakan berbagai macam tekanan di luar ekosistem dengan berbagai kepentingan. Tekanan tersebut antara lain yaitu 1) penebangan hutan gambut yang berlebih 2) pembuatan saluran air (kanal) yang terlalu intensif sehingga menyebabkan overdrains 3) terbakarnya/pembakaran lahan gambut untuk penanaman komoditi eksotis; dan 4) konversi lahan gambut untuk perkebunan skala besar, pertanian baru, perindustrian dan pemukiman. Para cerdik cendekia telah berujar dengan hati-hati bahwasanya segala sesuatu yang berlebihan hanya akan mendatangkan kerugian sebahagian besar. Demikian pula dengan kawasan bergambut bahwa bermodal menemukenali karakteristik lahan gambut tersebut seyogyanya dapat ditempuh langkah-langkah taktis dalam mengoptimalkan potensi lahan gambut tersebut sehingga kebutuhan dan keinginan masyarakat senantiasa dapat terakomodir dalam batas-batas kewajaran. Tatkala kawasan bergambut telah rusak maka indikator yang sering dijumpai adalah gundulnya lahan tersebut dari vegetasi endemiknya, semisal terentang, merapat, galam, punak, pulai, agatis, nyatoh, ramin, belangiran, kruing dan lainnya. Gundulnya lahan gambut diartikan sangat terbukanya lahan tersebut terhadap pencahayaan matahari sehingga didominasi oleh ilalang, kelakai dan beberapa jenis semak. Indikator kedua yaitu telah tergenangnya secara periodik (sepanjang tahun) akibat terjadinya subsiden untuk luasan tertentu. Penurunan muka tanah lahan gambut ini secara simultan terjadi akibat overdrains dan terbakarnya lahan tersebut secara berulang-ulang. Kemungkinan erosi yang terjadi pada lapisan gambut adalah terkikisnya material tanah, baik yang halus, sedang maupun kasar, larut ke aliran kanal menuju sungai alami. Pengolahan tanah gambut yang intensif mengakibatkan pula material gambut menjadi lebih kecil dan volume tanah menjadi lebih berat cenderung untuk turun dan mudah hanyut (lepas-lepas).
Guna merecovery lahan gambut yang telah dalam kondisi Rusak Berat hingga Rusak Sedang perlu ditempuh berbagai langkah teknis di lapangan, antara lain : 1) penanaman guna pemulihan tutupan hutan dan lahan 2) penabatan, pembuatan kolam/beje dan sumur bor guna penanggulangan kekeringan gambut sekaligus mencegah (antisipasi) kejadian kebakaran lahan/hutan gambut 3) penguatan kelembagaan masyarakat setempat guna pencerahan pemahaman seluk-beluk karakteristik gambut bagi keberlangsungan hidup manusia; dan 4) pembentukan kelompok kerja pengelolaan gambut guna mensinergikan pengelolaan gambut di tingkat tapak, baik instansi perencana, pelaksana, pengawas maupun instansi penegakan hukum agar efek negatif kerusakan gambut dapat diminimalisir sekaligus mengoptimalkan pemanfaatan gambut demi keberlangsungan hidup masyarakat luas. Di luar instansi, peran swasta menjadi motor penggerak untuk dinamisasi pengelolaan/pemanfaatan gambut yang dapat berperan baik secara langsung maupun tidak langsung. Menunggu best practices pengelolaan/pemanfaatan gambut akan menjadi agenda yang cukup penting sekiranya dari sekian banyak Kab/Kota berkeinginan mengadopsinya. Misalnya pembangunan perumahan di lahan gambut yang ramah lingkungan, pengolahan limbah padat/cair pada industri yang berada di lahan gambut, agroforestry di lahan gambut, hutan kota di lahan gambut, peran ekonomi komoditi jenis rawa gambut bagi PAD, perdagangan karbon dari hutan rawa gambut, dan lain sebagainya.